Ribuan Usaha Padati Lingkar Tambang Halteng, Desa Kehilangan Retribusi

HALTENG — Ledakan aktivitas ekonomi di wilayah lingkar tambang dan industri Kabupaten Halmahera Tengah belum sepenuhnya berbanding lurus dengan peningkatan pendapatan desa. Puluhan ribu pelaku usaha dan pedagang kini memadati kawasan Transmigrasi Kobe, Lelilef, dan Sagea, Lukulamo dan Gemaf, namun pemerintah desa setempat justru mengaku belum memiliki pendapatan dari retribusi desa.

Pantauan media pada Sabtu, 27 Desember 2025, menunjukkan perubahan drastis di ruas Transmigrasi Kobe, Lukulamo, Gemaf, Lelilef dan Sagea. Sekitar satu dekade lalu, kawasan ini masih didominasi hutan belukar dan nyaris tanpa aktivitas. Kini, deretan rumah kos, kios, warung, hingga berbagai usaha jasa tumbuh rapat menyerupai pusat pasar baru.

Kondisi serupa terlihat di Lelilef, Gemaf, Lukulamo dan Sagea. Arus pendatang dan pedagang terus meningkat seiring geliat industri tambang. Ironisnya, sejumlah kepala desa mengakui belum mampu memungut retribusi sebagai sumber Pendapatan Asli Desa (PADesa). Alasan yang dikemukakan pun beragam, mulai dari kebingungan regulasi hingga tidak tahu harus memulai dari mana.

Padahal, mekanisme penarikan retribusi desa telah diatur secara jelas. Pemerintah desa diperbolehkan menarik pungutan atau retribusi sepanjang berlandaskan Peraturan Desa (Perdes) dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ketentuan ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD).

Penetapan pungutan desa wajib dibahas dan disepakati melalui Musyawarah Desa (Musdes) bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dengan melibatkan unsur masyarakat. Jenis pungutan pun bersifat terbatas, umumnya berasal dari pengelolaan aset desa, swadaya, partisipasi, dan gotong royong. Desa dilarang menarik retribusi yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten.

Selain itu, penentuan tarif harus mengedepankan asas kewajaran, keadilan, serta mempertimbangkan kemampuan sosial ekonomi masyarakat. Seluruh hasil pungutan wajib dicatat dalam APBDesa dan diawasi oleh BPD serta pemerintah daerah melalui camat maupun inspektorat.

Situasi ini menegaskan adanya paradoks di lingkar industri Halteng karena aktivitas ekonomi tumbuh pesat, namun desa sebagai wilayah terdampak langsung belum optimal menikmati manfaat fiskalnya. Tanpa keberanian dan ketegasan regulasi di tingkat desa, potensi PADesa berisiko terus menguap di tengah hiruk-pikuk ekonomi tambang. (Odhe/Red)

IMG-20251220-WA0068
IMG-20251219-WA0016
previous arrow
next arrow
IMG-20251225-WA0094
IMG-20251224-WA0078
previous arrow
next arrow

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *