Penulis : EL Bachtiar Rosihan
Editor : Odhe Isma
Halteng kembali menjadi medan pertempuran politik identitas dalam Pilkada 2024. ‘Fagogoru’, simbol persatuan dan gotong royong, kini dibajak untuk kepentingan kekuasaan. Masyarakat Halteng harus waspada dan melawan politik identitas yang menghancurkan nilai-nilai luhur.
Di Halteng, politik identitas seperti hantu yang kembali menghantui. Pada Pilkada 2017, isu ‘anak kampung’, ‘perempuan tidak bisa pimpin negeri Fagogoru’, dan penggunaan ‘Fagogoru’ sebagai tameng untuk menjatuhkan lawan politik, memanaskan suhu politik. Kini, memasuki Pilkada 2024, politik identitas kembali muncul dengan kemasan yang sedikit berbeda, tetapi dengan esensi yang sama: memanfaatkan identitas untuk meraih kekuasaan.
‘Fagogoru’, yang seharusnya menjadi simbol persatuan dan gotong royong, kini dibajak untuk kepentingan politik. Filosofi ‘Fagogoru’ yang diwariskan oleh para leluhur, yang dibangun dengan darah dan air mata untuk menyatukan perbedaan, kini terancam dihancurkan oleh ambisi politik yang amoral. Para elit politik yang haus kekuasaan, dengan lihai mendesain kecemasan publik dengan memanfaatkan ‘Fagogoru’ sebagai alat untuk menjatuhkan lawan politik. Mereka lupa bahwa ‘Fagogoru’ bukanlah alat politik, melainkan simbol nilai-nilai luhur yang harus dilindungi dan dijaga.
Politik identitas, yang mengandalkan referensi tunggal dan mengklaim kebenaran absolut, merupakan ancaman serius bagi demokrasi dan persatuan. Politik identitas melahirkan hierarki moral yang terbelakang, di mana satu kelompok merasa superior dan menindas kelompok lain. Ini merupakan bentuk rasisme dan patriarki yang harus dilawan.
Masyarakat Halteng harus sadar bahwa politik identitas adalah ancaman nyata bagi ‘Fagogoru’. Mereka harus berani melawan politik identitas dengan akal sehat dan pertimbangan ide, bukan dengan sentimen politik yang amoral. Jika tidak, ‘Fagogoru’ akan menjadi berhala politik yang absurd, tanpa makna dan nilai bagi masyarakat Halteng.
Saatnya masyarakat Halteng bangkit dan melawan politik identitas. Saatnya mereka menuntut para elit politik untuk berkompetisi dengan ide dan gagasan, bukan dengan mengumbar sentimen identitas yang memecah belah. Saatnya mereka menyelamatkan ‘Fagogoru’ dari tangan-tangan politik yang haus kekuasaan.
Mari kita jaga ‘Fagogoru’ sebagai simbol persatuan dan gotong royong, bukan sebagai alat politik yang amoral.