Jakarta, TeropongMalut – Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana menyetujui 12 permohonan penyelesaian perkara melalui mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif) dalam ekspose virtual yang digelar hari ini. Salah satu kasus yang disetujui melalui mekanisme ini adalah kasus penadahan yang terjadi di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan pada Senin, 18 November 2024.
Perkara penadahan ini melibatkan tersangka Tomi bin Muhammad, yang diduga melanggar Pasal 480 ke-1 KUHP. Kasus ini bermula pada 3 Januari 2024, ketika saksi Candra bin Anuari mengambil satu unit mesin rumput dan satu potong pipa besi dari gudang milik saksi Syaiful. Candra kemudian menjual barang-barang tersebut kepada Tomi dengan harga Rp.4000,- per kilo. Tomi kemudian ditangkap oleh Tim Penyidik Kepolisian karena perbuatannya dianggap sebagai tindak pidana penadahan.
Kepala Kejaksaan Negeri Musi Banyuasin, Roy Riady, S.H.,M.H., bersama timnya menginisiasi penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice. Dalam proses perdamaian, Tomi “mengakui dan menyesali perbuatannya, serta meminta maaf kepada korban.” Korban pun menerima permintaan maaf Tomi dan meminta agar proses hukum yang dijalani Tomi dihentikan.
Setelah tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Musi Banyuasin mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatra Selatan, Dr. Yulianto, S.H, M.H. Permohonan tersebut disetujui oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatra Selatan dan kemudian diajukan kepada JAM-Pidum. Dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Senin, 18 November 2024, JAM-Pidum menyetujui permohonan tersebut.
Selain kasus penadahan di Musi Banyuasin, JAM-Pidum juga menyetujui 11 permohonan penyelesaian perkara melalui mekanisme restorative justice. Perkara-perkara tersebut berasal dari berbagai Kejaksaan Negeri di Indonesia, meliputi kasus penganiayaan, penggelapan, dan kekerasan dalam rumah tangga.
JAM-Pidum memberikan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif berdasarkan beberapa pertimbangan, antara lain:
- Tersangka telah meminta maaf kepada korban dan korban telah memaafkan tersangka.
- Tersangka belum pernah dihukum sebelumnya.
- Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana.
- Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun.
- Tersangka berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.
- Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dan tanpa tekanan.
- Tersangka dan korban sepakat untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan.
- Pertimbangan sosiologis.
- Masyarakat merespon positif.
JAM-Pidum menekankan pentingnya penerapan restorative justice dalam penyelesaian perkara. Ia meminta kepada seluruh Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022. Penerapan restorative justice diharapkan dapat mewujudkan kepastian hukum dan memberikan rasa keadilan bagi semua pihak. (TS)