Kala Langit Memanas dan Angin Berubah Arah, Ketika Iklim Menentukan Makanan di Meja Kita

Oleh : Hajar Adam S. TP Mahasiswa Paskasarjana Fakultas Pertanian Peminatan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Khairun Ternate Kamis, 16 Oktober 2025

Ketika langit tak lagi ramah dan angin tak lagi bersahabat, ada yang jauh lebih terdampak dari sekadar perubahan musim yakni isi piring kita. Perubahan suhu dan tekanan udara bukan hanya cerita langit dan awan, melainkan soal apakah beras tetap tersedia di meja makan, dan apakah gizi masih terjaga di tubuh anak-anak bangsa.

Perubahan iklim telah menyusup perlahan ke dalam setiap aspek kehidupan manusia. Ia tak bersuara, namun meninggalkan jejak nyata: lahan yang retak, panen yang gagal, harga pangan yang melonjak, dan keluarga yang beralih dari nasi ke mie instan demi bertahan hidup. Iklim yang dulu akrab kini menjadi asing, membawa suhu yang meninggi dan tekanan udara yang tak menentu.

Suhu yang terlalu tinggi membuat tanah tak sempat bernapas. Ia mempercepat penguapan air, mengganggu fotosintesis, dan membuka pintu bagi hama untuk merajalela. Di sisi lain, tekanan udara rendah menggiring datangnya curah hujan ekstrem banjir, longsor, dan badai yang merobek ladang-ladang harapan para petani.

Pertanian, sebagai tulang punggung ketahanan pangan, menjadi ring pertama yang roboh.

Ketika panen gagal, distribusi terganggu, dan harga melonjak, masyarakat kecil menjadi korban utama. Mereka yang paling bergantung pada kestabilan harga, harus rela menyesuaikan konsumsi dengan isi dompet bukan dengan kebutuhan gizi. Dari nasi ke jagung, dari daging ke tahu, dari makanan bergizi ke apa pun yang bisa dibeli hari ini. Ini bukan lagi soal pilihan menu, tapi pilihan bertahan hidup.

Keamanan pangan kini terombang-ambing dalam badai iklim.

Empat tiangnya ketersediaan, akses, stabilitas, dan pemanfaatan terguncang serempak. Ketika suhu memanas, pangan cepat rusak. Saat tekanan menurun, transportasi lumpuh. Dan saat iklim tak menentu, harga jadi permainan yang tak bisa ditebak. Di titik inilah, pola konsumsi masyarakat pun berubah. Kita makan bukan karena ingin, tapi karena mampu.

Di musim panas, kita berbondong-bondong mencari buah segar dan minuman dingin. Saat hujan datang, makanan hangat dan berkalori tinggi menjadi pilihan untuk melawan dingin. Tapi tak semua bisa memilih. Sebagian hanya bisa menerima apa yang tersedia, terjangkau, dan tersisa.

Lebih jauh lagi, perubahan suhu dan tekanan udara mengubah gaya hidup kita dari pola belanja, konsumsi energi, hingga pengeluaran rumah tangga. Musim kini bukan hanya penanda waktu, tapi penentu apa yang bisa dan tidak bisa dimakan.

Apakah ini hanya masalah alam? Ataukah alarm bagi manusia untuk berubah?

Krisis iklim bukan hanya masalah lingkungan, tapi ancaman nyata terhadap keamanan dan keadilan pangan. Saat bumi menghangat, pangan menyusut, dan ketimpangan melebar. Di sinilah negara, akademisi, petani, dan masyarakat harus duduk satu meja, bukan sekadar untuk makan, tetapi untuk memikirkan bagaimana agar makanan tetap ada.

Karena pada akhirnya, bukan suhu yang akan membuat kita lemah, tapi ketiadaan solusi atas ketimpangan yang dipanaskannya. Dan saat tekanan udara menekan bumi, semoga kita tidak ikut menekan satu sama lain, tetapi menciptakan ruang adaptasi yang lebih adil, lebih sehat, dan lebih manusiawi. “****

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *