Berita  

Kejaksaan Agung Terapkan Keadilan Restoratif untuk 14 Perkara

Jakarta, TeropongMalut — Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana telah menyetujui 14 permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif) pada Rabu, 30 Oktober 2024. Salah satu kasus yang diselesaikan melalui mekanisme ini adalah perkara penadahan yang terjadi di Bandar Lampung.

Tersangka, Moh. Rahmat Alias Ome bin Joni Arif (Alm), didakwa melanggar Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang Penadahan. Perkara bermula pada Sabtu, 10 Agustus 2024, ketika tersangka menerima gadai sepeda motor Yamaha Vega ZR dari saksi Agus Maulana bin Tb Makruf (dilakukan penuntutan terpisah) tanpa dilengkapi dokumen. Tersangka kemudian menggadaikan kembali sepeda motor tersebut kepada temannya.

Setelah ditangkap, tersangka mengakui perbuatannya dan meminta maaf kepada korban. Korban menerima permintaan maaf tersebut dan meminta agar proses hukum terhadap tersangka dihentikan.

Kepala Kejaksaan Negeri Bandar Lampung mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Lampung, yang kemudian disetujui oleh JAM-Pidum.

Selain kasus penadahan di Bandar Lampung, JAM-Pidum juga menyetujui 13 perkara lain untuk diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif.

Perkara-perkara tersebut meliputi kasus penganiayaan, pengancaman, pelanggaran lalu lintas, kekerasan dalam rumah tangga, penggelapan, dan pencurian.

Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini antara lain:

  • Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf.
  • Tersangka belum pernah dihukum.
  • Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana.
  • Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun.
  • Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya.
  • Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.
  • Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar.
  • Pertimbangan sosiologis.
  • Masyarakat merespon positif.

Penerapan keadilan restoratif dalam 14 perkara ini menunjukkan komitmen Kejaksaan Agung dalam memberikan akses keadilan yang lebih humanis dan restorative bagi masyarakat.

Hal ini diharapkan dapat meminimalisir dampak negatif dari proses hukum dan mendorong terciptanya perdamaian dan rekonsiliasi antara pelaku dan korban. (TS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *