Kilas Balik Bandara Udara Leo Watimena dan Sultan Iskandar Jabir Sjah

Oleh Arafik A Rahman
(Penulis Buku)

Morotai menyimpang segudang catatan sejarah tentang perang Pasifik yang belum di ketahui secara tuntas oleh generasi muda saat ini. Salah satu diantara catatan itu, misalnya tentang awal mula pembangunan bandara udara saat bergulirnya Perang Pasifik 1944.

Bandara udara itu, kini di beri nama “Leo Watimena”, menyimpan banyak misteri kelam. Diawali kedatangan milisi militer Jepang 1942, di Pulau Morotai. Mereka membangun dua running way ( dua buah landasan pacu). Dalam manuskrip seorang pemerhati sejarah Muhlis Eso, bahwa Jepang melakukan kerja paksa (Romusa) kepada masyarakat Morotai saat membangun bandara kala itu.

Ada sekitar 60 orang warga lokal yang meninggal saat itu, sebagian meninggal di lokasi pembangunan bandara yang tempat di desa Wawama saat ini. Kemudian ada juga yang meninggal karena di bom saat melarikan diri, ke hutan di belakang desa Sabatai Tua.

Warga yang meninggal itu, berasal dari beberapa desa, diantaranya desa Gotalamo, Totodoku, Joubela, Pangeo dan Sabatai Tua. Jepan berhasil membangun dua landasan pacu untuk menjadikan pos pengintai dengan meletakan 1 batalion militernya di desa Juanga dan pos-pos kecil tersebar di desa Wayabula, Sopi, Sangowo dan Pangeo di Morata jaya. Kemudian ada juga basis Jepang yang menduduki teluk Kao.

Ketika Jepang di Halmahera dan Morotai, hubungan dengan kesultanan Ternate tidak terjalin dengan baik. Karena itu, Jepang tak menduduki atau membuat pangkalan di Pulau Ternate. Dalam perjalanan di tahun 1944, tepatnya pada tanggal 15 September Sekutu mendarat di Pulau Morotai dengan kekuatan 83 Batalion di lengkapi Alusista dan perlengkapan perang lainnya.

Sekutu berhasil memukul mundur Jepang dan mengambil alih Pulau Morotai, kemudian membangun tambahan lima landasan pacu karena jumlah pesawat mereka terlalu banyak (3000 pesawat). Dalam manuskrip kesultanan Ternate, yang di sampaikan Sultan Hidayatullah Sjah;

Bahwa sebelum Sekutu bergerak menuju Morotai, kakeknya Sultan Iskandar Jabir dikonfirmasi oleh Douglas Mac Arthur (panglima besar Sekutu); untuk menyetujui dan memberi dukungan terhadap operasi “Tradewind” di Pulau Morotai dan sekaligus menjadikan pangkalan. Permintaan Mac Arthur itu, disetujui oleh sang Sultan.

Tak menunggu lama, intelijen Jepang berhasil mengetahui keberpihakan kesultanan Ternate. Sebelum Jepang melakukan invasi ke Ternate, sultan Iskandar beserta keluarganya di larikan ke Pulau Hiri. Kemudian sekutu mengirimkan satu buah kapal penjelajah dan dua buah pesawat tempur pengintai, untuk melarikan dan mengamankan sultan Iskandar dan keluarganya ke Australia selama Perang Pasifik.

Perang pun bergema. Sekutu sukses mengusir Jepang dari Morotai, Kao, dari Moloku Kie Raha dan bahkan memenangkan perang Pasifik. Di celah-celah waktu sebelum Mac Arthur dan pasukannya kembali ke Amerika Serikat, sultan Iskandar Jabir Sjah di panggil berdiskusi, lalu Mac Arthur memberikan beberapa pilihan:

  1. Memilih bergabung dengan Amerika Serikat.
  2. Bergabung bersama Bung Karno (Indonesia).
  3. Menjadi negara sendiri (negara Moloku Kie Raha).

Dengan berbagai pertimbangan (agama dan adat istiadat yang mesti dijaga), sultan Iskandar Jabir Sjah memutuskan untuk bergabung dengan Indonesia. Jika tidak mungkin saja Indonesia tak akan pernah sampai ke Maluku Utara, atau tak sampah ke timur karena wilayah kesultanan Ternate meliputi Sulawesi Utara, Sulawesi tenggara (Buton-Slayer), NTT, Sula, Obi, Papua dan Palau hingga ke Filipina.

Dengan kata lain, ceritanya NKRI pasti berbeda dalam catatan sejarah. Misalnya wilayah kesultanan Ternate menjadi negara bagian Amerika Serikat, dan atau berdiri sendiri menjadi sebuah negara yang merdeka. Setelah kemerdekaan, situasi politik berubah drastis. Isu demi isu datang silih berganti, yang pada akhirnya sang sultan Iskandar terpojok (di fitnah), ditangkap dan di asingkan jauh dari Maluku Utara atas perintah kekuasaan RI kala itu.

Akhirnya mendiang sultan Iskandar tak pernah kembali lagi ke Moloku Kie Raha sampai ia wafat di pengasingan. Di tahun 1975 saat presiden Soeharto berkuasa, keluarga besar kesultanan Ternate meminta agar makam mendiang sultan Iskandar Jabir Sjah dipindahkan ke Ternate. Alhamdulillah disetujui oleh pak Harto.

Hemat saya masih banyak fakta sejarah yang tertimbun oleh waktu dan kelalaian kita. Selain cerita tentang sepak terjang Sultan Iskandar Jabir Sjah di masa lalu dan awal mula pembangunan bandara udara oleh Jepang dan Sekutu. Kemudian Kontribusi Pulau Morotai dalam perdamaian dunia dan kisah pengorbanan tahta dan wilayah kesultanan Ternate untuk bergabung dengan NKRI.

Oleh karena itu, berdasarkan fakta sejarah. Kami menyarankan kepada yang berwenang, agar nama bandara udara di Pulau Morotai mestinya mengunakan nama “Sultan Iskandar Jabir Sjah” bukan Pitu atau Leo Watimena yang tiba di Morotai bandara itu telah ada jauh sebetulnya. Sebagai bentuk respect terhadap Masya dan pengorbanan Sultan Iskandar Jabir Sjah.

Iklan Ramadhan 2025_20250228_083823_0000
Iklan Ramadhan 2025_20250301_123938_0000
previous arrow
next arrow

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *