Kontraktor Proyek Rp11 M Ditetapkan Tersangka, 100 Unit Rumah Mangkrak di Halteng

HALTENG — Kejaksaan Negeri Halmahera Tengah (Kejari Halteng), Maluku Utara, resmi menetapkan HK alias Hendri sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan 100 unit rumah instan di Desa Lelilef Waibulan, Kecamatan Weda Tengah. Proyek senilai Rp11,1 miliar itu kini terbukti menyisakan kerugian negara sebesar Rp4 miliar dan meninggalkan ratusan bangunan mangkrak tak bertuan.

Penetapan tersangka dilakukan Selasa malam (14/10/2025) usai penyidik menemukan bukti kuat adanya penyimpangan serius dalam pelaksanaan proyek yang dibiayai melalui APBD 2018 tersebut. HK, yang menjabat sebagai pelaksana proyek sekaligus penyedia jasa, langsung ditahan dan dijebloskan ke Rutan Kelas IIB Weda untuk 20 hari ke depan.

“Kerugian negara telah dihitung oleh BPKP, dan jumlahnya sangat signifikan. Kami tak akan berhenti sampai semua pihak yang terlibat diusut tuntas,” tegas Kepala Kejari Halteng, Harianto Pane.

Proyek pembangunan Rumah Instan Sederhana dan Sehat (RISHA) tipe 36 dan 35 yang dikelola Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (DPKP) Pemkab Halteng itu sejatinya memiliki kontrak senilai Rp11.190.000.000, dengan masa kerja 90 hari. Namun, realisasi di lapangan berbanding terbalik: 100 rumah dibiarkan terbengkalai dan rusak di kilometer 2 Desa Lelilef Woebulen.

Warga menyebutkan bahwa proyek ini digagas oleh Pemerintahan Elang–Rahim, namun tak pernah rampung sejak dikerjakan oleh PT Kurnia Karya Sukses, perusahaan yang diduga milik tersangka.

“Rumah-rumah itu dibiarkan begitu saja. Tidak ada penghuni, tidak ada pengawasan. Uang rakyat dibakar habis,” ujar seorang warga setempat yang enggan disebutkan namanya.

Pihak kejaksaan memastikan penyidikan terus berlanjut. Jika ditemukan aliran dana mencurigakan ke pihak lain, baik pejabat maupun swasta maka penetapan tersangka lanjutan akan segera diumumkan.

“Kami komitmen, tidak ada yang kebal hukum. Korupsi anggaran publik, apalagi untuk perumahan rakyat, adalah kejahatan serius,” tutup Harianto tegas.

Proyek ini menjadi simbol kegagalan tata kelola dan pengawasan anggaran publik di Halmahera Tengah. Penindakan hukum harus menjangkau tidak hanya pelaksana teknis, tetapi juga aktor-aktor politik di balik meja anggaran. (Odhe/Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *