Sidang PT Darko vs Kemenhub–Pemprov Malut, Saksi Bongkar Dugaan Penyerobotan Lahan dan Penyalahgunaan Uang Negara
TIDORE — Pengadilan Negeri Soasio, Kota Tidore Kepulauan, kembali menggelar sidang lanjutan perkara perdata antara PT Darko melawan Kementerian Perhubungan dan Pemerintah Provinsi Maluku Utara, Kamis (23/10). Sidang kali ini menghadirkan empat orang saksi dari pihak penggugat, yang seluruhnya menguatkan dugaan bahwa lahan milik PT Darko di Sofifi telah diserobot untuk pembangunan fasilitas pelabuhan.
Kuasa Hukum PT Darko dari Kantor Pengacara Dahlan Tan & Rekan, Hamka Sahupala, SH, menjelaskan bahwa keempat saksi memberikan keterangan yang saling berkaitan, mulai dari proses awal masuknya PT Darko ke Sofifi pada 1983 hingga pengalihan tanah menjadi Hak Guna Bangunan (HGB).
Saksi pertama, Haji Naser, mantan Kepala Desa Sofifi, mengaku ikut dalam panitia pembebasan lahan tahun 2002 dan mengetahui pembangunan pelabuhan laut serta kantornya sejak 2003 hingga 2008. Ia menegaskan bahwa sebagian lahannya dijual kepada PT Darko dan perusahaan Modul Timber.
Saksi kedua, H. Mahmud, mantan Kepala Dusun Sofifi sekaligus karyawan PT Darko, mengungkapkan bahwa dirinya bertugas mencari dan mendata lahan serta tanaman warga untuk dibeli perusahaan sebagai lokasi operasi somel. Ia juga masih memegang surat kuasa asli dari pemilik PT Darko yang ditunjukkan di hadapan majelis hakim.
Dalam sidang tersebut, tergugat I dari pihak Jaksa Pengacara Negara mencecar saksi soal koordinasi antara PT Darko dan pemerintah, termasuk pertemuan di Florida, rapat di KPK, serta Zoom Meeting dengan Dirjen Perhubungan Laut. Dalam rapat daring itu, disebutkan Dirjen memerintahkan penghentian seluruh aktivitas di atas lahan PT Darko.
Saksi keempat, Azwardi Sikumbang, menuturkan bahwa dirinya telah menemui sejumlah pejabat di Maluku Utara, termasuk mantan dan pejabat aktif Gubernur, Sekda Samsudin, Dinas Perhubungan, serta Kantor Pertanahan, untuk menyampaikan dugaan penyerobotan lahan PT Darko di kawasan pelabuhan. Menurut Azwardi, hasil pertemuan di Florida menyimpulkan agar persoalan diselesaikan secara damai tanpa merugikan pihak mana pun. Namun, ia menuding Pemprov Maluku Utara melalui Biro Hukum justru menyatakan lahan tersebut milik daerah dan meminta segera diambil alih.
Hamka menegaskan, perkara ini bukan sekadar sengketa lahan, tetapi membuka dugaan penyalahgunaan dana APBD dan APBN dalam pembangunan fasilitas di atas lahan yang tidak memiliki legalitas sertifikat.
“Tidak ada dasar hukum yang membenarkan pembangunan di atas lahan tanpa sertifikat sah. Seharusnya Kejaksaan Tinggi memeriksa potensi kerugian negara, bukan justru membela pelaku penyalahgunaan uang negara,” tegas Hamka.
Sidang dijadwalkan kembali 30 Oktober 2025 dengan agenda mendengarkan tiga saksi tambahan dari pihak penggugat. (Tim/Red)









