oleh : Imran M. Nur Marsaoli
TeropongMalut.com-Maluku Utara. Gebyar pesta demokrasi Pilkada serentak secara resmi akan di mulai pada bulan Mei 2024 dan puncaknya pada tanggal 27 November 2024. Provinsi Maluku Utara sebagai salah satu wilayah multi etnik dan multi budaya, saat ini sedang dilanda dengan bermacam-macam isu yang disebar oleh pihak tak bertanggung jawab, yang diikuti dengan polemik dengan polesan sedemikian rupa. Hal tersebut dilakukan demi menyukseskan para figur politiknya untuk bertarung baik di Pilgub, Pilwako maupun Pilbup. Pemilihan Kepala Daerah tahun 2024 ini, secara tidak sadar telah menggiring berbagai isyu tentang etnis, suku dan budaya yang dijadikan sebagai kendaraan untuk menopang elektabilitas masing-masing figur dari berbagai daerah dan beragam warna.
Beberapa suku yang sering diperbincangkan oleh berbagai kalangan, disetiap momentum politik termasuk Pilkada adalah etnis Togale, Makayoa, Tidore, Ternate, Sula, dan lain sebagainya. Kenapa demikian, karena negeri Maluku Utara ini terbentuk dari beragam etnis ini, yang melafazkan menyatu dalam bingkai Moloku Kie Raha. Makayoa misalnya, etnis ini memiliki banyak figur terbaik untuk diusung pada momentum Pilkada tersebut. Figur Makayoa juga menjadi salah satu etnis yang sangat ditunggu kehadiran sosok/figur terbaiknya untuk melakukan perubahan bagi Maluku Utara. Selain itu, figur dari Makayoa juga menjadi sangat diperhitungan dalam setiap diadakannya pesta demokrasi tersebut, mengingat Makayoa tidak hanya memiliki populasi penduduk yang banyak di Jazirah Moloku Kie Raha, namun Pulau Makian juga menjadi salah satu pulau yang memiliki kekayaan sejarah, kebudayaan, cinta dan keberkahan, sebab di sanalah cahaya itu bermula.
Oleh karena itu, coba sesekali kita menengok ke masa lalu, mengingat kembali ketika para leluhur, nenek moyang berlumuran darah dan tak mengenal siang atau malam, berjuang tak henti hingga nafas berakhir demi untuk kelangsungan hidup anak cucunya. Segalanya mereka lakukan demi kemaslahan negeri dan tanah moloku kie raha dengan berlandaskan cinta yang abadi dalam bobaso se rasai. Berabad-abad telah dilalui, dan kini harapan besar demi terciptanya kesatuan, kerukunan, kesejahteraan masyarakat, ada di tangan generasi penerus peradaban. Para tetuah dimandatkan untuk bercerita tentang cinta moloku kie raha, sementara para generasi muda di tuntut untuk cari, mengetahui, taati, mengimani, dan mengimplementasikan dalam diri. Hal ini jarang di bicarakan sebab masyarakat sekarang berasumsi, “Sapa ada doi, dia dapa kursi”, Kalimat ini sudah menjadi hal lumrah yang sering di lontarkan saat momen demokrasi berlangsung.
Dari segala hal yang terjadi, dan berbagai bentuk problematika yang ada di Maluku Utara, sudah saatnya kita mengubah pola pikir, menatap masa depan yang yang lebih baik. Salah satu yang bisa kita lakukan adalah dengan tidak memilih pemimpin yang merusak tatanan syareat di negeri tercinta Moloku Kie Raha ini. Sudah berapa kali kita ganti pemimpin, tapi masih jauh dari harapan, kata sejahtera hanya sebagai slogan, berapa kali juga kita memilih pemimpin, namun hasilnya tak bertanggung jawab, artinya yang dijanjikan saat kampanye tidak searah dengan yang dilaksanakan saat memimpin. Berkoar tentang keadilan, kemajuan, dan kemaslahatan umat, namun implementasi di lapangan malah sebaliknya, yakni penjajahan untuk negeri ini.
Mari torang satukan hati, eratkan, genggamkan, hangatkan pelukan untuk maluku utara yang lebih baik di masa depan. Sudah saatnya, kita memilih pemimpin yang mengerti tentang moloku kie raha, bukan moloku milik kita bersaudara. Generasi moloku kie raha pasti memahami tentang pesan para leluluhur, bahwa pemimpin harusnya mengerti apa itu Bahasa orang tua-tua tentang adab, tindakan, dan bertawakkal. Sebab banyak orang yang membawa nilai kebudayaan pada ruang-ruang politik, namun hanya sebatas pada kepentingan untuk mengambil hati rakyat, demi mendapatkan sebuah kekuasaan. Artinya, kebudayaan dan sejarah di jadikan kendaraan untuk menunjang popularitas meraik kekuasaan. Kebiasaan seperti harus segera dihilangkan, karena dapat merusak pola pikir dan perilaku generasi mendatang.
Untuk itu, mari ciptakan pemilu bersih, adil, dan damai. Pilihlah pemimpin yang berdiri tegak seperti tegaknya kie matubu, pilihlah pemimpin yang dengan segala kondisi dapat menyelesaikan masalah dengan tenang, seperti ketenangan yang ciptakan sibela di Pulau Bacan. Pilihlah pemimpin yang tidak sekedar membaca, tapi mengerti juga tentang implementasi, pempimpin yang menempatkan doa sebagai alat yang beriringan dengan barakat yang tak hanya sekedar ucapan, tapi lahir dari hati untuk kehidupan rakyat yang lebih baik. Dukunglah pemimpin yang mampu membawa pada jalan yang sebenarnya, yang teguh hatinya, yang sabar, seperti kesabaran yang di ajarkan jailolo pada raja nya. Lalu, pilih dan dukunglah pemimpin yang mampu membawa moloku kie raha terbang tinggi menggapai Cahaya, selayaknya Goheba dengan rahasiannya.
Saat ini bukan lagi tentang siapa yang paling tahu, tetapi jika ada yang salah, mari saling mengingatkan. Karena mari moi ngone futuru yang menjadi sebuah filosofi untuk memilih dan memilah seorang pemimpin, telah di jelaskan oleh moloku kie raha, yang dijadikan sebagai pegangan hukum dan moral, melalui adat se atorang. Adat se atorang yang seharusnya menjadi pegangan dan pondasi dalam membangun sebuah negeri dalam ruang lingkup pemerintahan, menurut kajian para leluhur, bahwa adat se atorang sebagai langkah awal lahirnya UUD 1945. Hal ini bukanlah sebuah klaim sepihak, namun ini menjadi bukti bahwa para pemimpin yang hadir di Maluku Utara, haruslah menaati, patuh dan berjalan pada lintasan loa se banari. Pemimpin Maluku Utara masa kini tak menyadari bahwa mereka hanya di tuntut untuk menjalankan atau penyambung lidah para khalifah islam, bukan untuk merubah setiap isi di dalam-Nya. Salah tafsir ini hingga melahirkan undang undang yang jauh dari kata kemanusiaan tapi kepentingan individual semata. Ingat, ne kaha kabasarang dadi jang gulaha sabarang.