HALTENG, TM.com – Bisnis kayu olahan ilegal di Maluku Utara semakin menggila. Keuntungan besar membuat para pelaku nekat menjalankan operasi ilegal ini dengan memanfaatkan celah di lapangan. Yang lebih mengerikan, oknum aparat yang seharusnya menindak justru ikut bermain, menjadikan hukum hanya sekadar formalitas.
Jalur komunikasi antara pengusaha ilegal dan oknum aparat menjadi kunci utama. Tanpa ‘pelicin’, kayu-kayu ini tak akan pernah sampai ke Ternate, Tidore, dan wilayah lainnya. “Kalau komunikasi putus, kayu olahan pasti tertahan. Tapi kalau sudah ‘diatur’, barang pasti lolos,” ungkap seorang pekerja kayu kepada media ini.
Praktik suap dan kolusi ini bukan rahasia lagi. Bahkan, pimpinan di lapangan diduga mengetahui dan membiarkan aktivitas haram ini karena turut kecipratan keuntungan. Ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus—negara dirugikan, tapi segelintir pihak justru semakin kaya.
Seorang pelaku usaha asal Tidore Kepulauan secara blak-blakan mengakui sistem ini. “Kalau kayu ditahan, tinggal bayar. Kalau belum setor, ya pasti ditahan,” ujarnya. Ironisnya, pelaku ini memiliki izin kayu di lokasi tertentu, tapi mengambil kayu di luar area izinnya—pelanggaran fatal yang seharusnya ditindak tegas.
Lebih jauh, dugaan keterlibatan oknum kepercayaan pemerintah provinsi juga mencuat. Mereka diduga memanfaatkan bisnis kayu ilegal ini sebagai ‘tambang uang’ pribadi, yang hasilnya digunakan untuk membangun rumah mewah, membuka usaha, dan membeli kendaraan pribadi.
Para pekerja di lapangan bahkan sering mengaku harus ‘patungan’ untuk membiayai operasional aparat ketika turun ke lokasi. Dalihnya? Mereka tak punya dana operasional. Nyatanya, ini hanya modus lain untuk menutupi praktik pungli yang sudah menjadi kebiasaan.
Sementara negara terus mengalami kerugian akibat bisnis haram ini, para pelaku justru semakin makmur. Sampai kapan praktik ini akan dibiarkan? Ataukah hukum hanya berlaku bagi mereka yang tak punya uang untuk ‘menyetor’? (ODHE)