Menanam Fagogoru, Menuai Cinta: Ikram Malan Sangadji dan Jalan Sunyi Pengabdian

Oplus_131072

Oleh: Sirajan Ade Mantan Ketua HIPMA Patani

Editor : Odhe Isma

Fagogoru bukan sekadar nama—ia adalah napas dari tiga tanah leluhur: Weda, Patani, dan Maba. Sebuah falsafah hidup yang menenun keberadaan manusia dalam simpul-simpul nilai: Budi re Bahasa, Sopan re Hormat, Ngaku re Rasai, dan Mtat re Moy.

Nilai-nilai ini bukan hanya warisan, tapi cermin laku hidup yang seharusnya meresap ke dalam jiwa setiap insan Gamrange.

Namun, kadang cinta terhadap nilai lahir bukan dari darah, melainkan dari pengabdian. Itulah yang tergambar dalam sosok Ikram Malan Sangadji—lelaki dari luar Gamrange, yang datang bukan membawa kuasa, melainkan cahaya.

Datang sebagai Penjabat Bupati Halmahera Tengah pada 2022, kehadiran Ikram awalnya disambut dengan keraguan. Di tengah suburnya investasi dan kabut ketimpangan, publik menatapnya dengan curiga: akankah ia sekadar penjaga kepentingan modal?

Namun waktu membuktikan, bahwa lelaki yang dikenal dengan inisial IMS ini membawa lebih dari sekadar mandat birokrasi. Ia membawa suara nurani, dan memperkenalkan fagogoru dalam laku, bukan sekadar wacana. Ia berbicara dengan santun, melayani dengan tulus, dan memutus rantai kesenjangan sosial dengan langkah nyata.

Di bawah IMS, wajah Halmahera Tengah mulai berubah. Pendidikan dan kesehatan menjadi hak, bukan barang mewah. Lansia, yatim piatu, dan rakyat jelata menjadi prioritas, bukan sekadar statistik. Birokrasi menjadi ladang pengabdian, bukan arena kekuasaan.

Saat mandat Pj usai, rakyat tak ingin kehilangan arah. Mereka tak hanya memilih IMS, mereka mempercayakan harapan. Bersama Ahlan Djumadil, pasangan IMS-ADIL menang di seluruh kecamatan, menandai kemenangan bukan atas nama identitas, melainkan cinta dan kepercayaan.

Kini, setelah resmi dilantik, IMS tak berpuas diri. Dalam tiga bulan awal kepemimpinan definitif, ia kembali menanam fagogoru dalam kebijakan: dengan hati, dengan cinta, dengan iman.

Boleh jadi, ia bukan anak tanah Gamrange. Tapi dari sikap dan kebijakan, ia adalah anak spiritual dari falsafah itu sendiri. Ia menjiwai Budi re Bahasa, merawat Sopan re Hormat, hidup dalam Ngaku re Rasai, dan berjalan dengan Mtat re Moy.

Di tengah dunia yang sering bising oleh kepentingan, ia memilih jalan sunyi: mencintai rakyatnya tanpa pamrih, dan memuliakan nilai tanpa sorak-sorai. Fagogoru tak lagi sekadar cerita masa lalu—bersamanya, ia menjadi harapan masa depan. ****

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *