Mencari Pemimpin di Tengah Rivalitas Super Power

Oleh: Mohamad Asruchin

Jakarta - TeropongMalut.com, Hajatan besar kenegaraan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) serta Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg) dilakukan setiap lima tahun sekali. Hajatan Pilpres untuk memilih pemimpin nasional dan Pileg untuk memilih wakil rakyat lima tahun ke depan akan dilangsungkan pada 14 Februari 2024.
   
Dalam konteks kepemimpinan nasional, guna menyongsong satu abad Kemerdekaan RI pada 2045 Indonesia perlu mendapatkankan pemimpin yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan mencerdaskan rakyat dan bangsa Indonesia serta ikut melaksanakan ketertiban dunia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. 
   
Ini berarti pemimpin Indonesia ke depan tidak hanya sekedar ‘jago kandang’ yang lebih banyak berkutat dengan urusan dalam negeri, tetapi sekaligus mampu berperan dan mewarnai dunia global.
   
Adapun perkembangan politik dan keamanan dunia saat ini sungguh sangat memprihatinkan. Letupan konflik internal di Myanmar dan Sudan telah mengganggu stabilitas regional masing-masing.
   
Di sisi lain, perang Rusia-Ukraina dan penyerangan Gaza yang brutal oleh Israel telah menjadi perhatian dunia, namun tak mudah diselesaikan PBB karena adanya dukungan negara besar pemilik hak veto di Dewan Keamanan PBB. 
   
Selain NATO yang merupakan aliansi militer, ada pula organisasi-organisasi internasional lainnya dengan basis kerjasama ekonomi yang juga bisa membicarakan masalah politik dan keamanan seperti G-20, OIC, ASEAN, SCO, GCC, SAARC, CELAC, MERCOSUR, dan BRICS. 
   
Sementara itu kebangkitan China di bidang ekonomi yang diikuti dengan pengembangan militernya telah mendorong negara tersebut lebih asertif dan memposisikan dirinya sebagai negara adikuasa baru di tataran regional maupun global.
   
Perangai sebagai Superpower mulai ditunjukkan dengan tindakan unilateralnya untuk mengambilalih Taiwan, jika perlu dengan kekerasan, dan mengklaim Kepulauan Senkaku yang dikuasai Jepang di Laut China Timur sebagai milik Negara Tirai Bambu tersebut.
   
Selain itu China menetapkan ‘Nine-dash line’ di Laut China Selatan dan mengklaim lebih dari 85 persen perairan tersebut sebagai miliknya. ‘Nine-dash line’ adalah sembilan garis patah-patah yang menandai klaim China terhadap laut China Selatan.
   
Selain itu China menggelontorkan grants (hibah) dan loan (pinjaman) yang kemudian dilanjutkan dengan Perjanjian Kerjasama Pertahanan dengan negara-negara kepulauan di Pasifik Selatan.
   
Sementara itu suatu konsep strategis Indo-Pasifik mengemuka dengan maksud meningkatkan kerjasama ekonomi-perdagangan serta politik dan militer antara negara yang berada di wilayah perairan tropis dari Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. 
   
Konsep itu muncul dalam rangka mengatasi masalah geopolitik yang sering memanas di wilayah tersebut dengan kemunculan China sebagai kekuatan baru dunia. Sebagai pendukung utama konsep Indo-Pasifik, Amerika Serikat merasa terancam dengan pengaruh ekonomi, politik dan militer China di kawasan tersebut. 
   
Amerika selain membentuk aliansi QUAD bersama dengan Jepang, India dan Australia, juga menyepakati kerjasama militer dan keamanan dengan Australia dan Inggris yang disebut AUKUS (Australia, UK, US).
   
Di sisi lain Pemerintah Beijing maupun Washington berusaha keras menjadikan ASEAN sebagai ‘battleground’ untuk dikuasai atau berada di pihaknya. ASEAN memang dihadapkan pada dilema menghadapi tarikan dua Superpower untuk menggalang kerjasama yang lebih erat di sektor ekonomi dan perdagangan. 
   
Awal 2022 China meluncurkan proyek perdagangan bebas RCEP (Regional Comprehensive Economic Corridor) yang kemudian coba diimbangi oleh Amerika dengan program IPEF (Indo Pacific Economic Framework). 
   
Namun demikian program RCEF lebih atraktif dengan menjanjikan penurunan tarif secara bertahap sampai 0 persen dalam 10 tahun terhadap barang dagangan di antara 15 anggotanya.  
   
Dalam hubungan ini ASEAN diharapkan kepiawaiannya menjembatani dialog dan perundingan antara dua Superpower AS dan China guna menciptakan suasana kondusif di wilayah Indo-Pasifik. 
   
Namun dalam perjalanannya, ASEAN yang keanggotaannya sangat majemuk dari segi sosial, ekonomi dan politik berpatokan pada prinsip “ASEAN Way” yang mengutamakan konsensus, non-interference, dan penyelesaian damai. 
   
ASEAN Way ini yang membuat masalah Myanmar berlarut-larut dan sikap berbeda-beda dalam menghadapi masalah Laut China Selatan. Kondisi ini sekaligus merupakan kelemahan dalam menerapkan sentralitas ASEAN dalam menghadapi isu-isu penting regional maupun internasional.  
   
Secara khusus China menganggap penting upaya untuk mempererat hubungan bilateral China-Indonesia sebagai pintu masuk untuk meningkatkan hubungan dengan anggota ASEAN lainnya. 
   
Dalam sembilan tahun terakhir sejak Pemerintahan RI di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo tahun 2014, hubungan ekonomi dan perdagangan kedua negara terus meningkat dengan pertumbuhan tiap tahunnya mencapai sekitar 58 persen. 
   
China telah membangun proyek infrastruktur kereta cepat KCIC (Kereta Cepat Indonesia-China) Jakarta-Bandung. China juga siap mengambil bagian dalam proyek pembangunan ibukota baru IKN (Ibukota Nusantara). 
   
China juga berinvestasi dalam bidang pertambangan nikel di Morowali, Sulawesi Tengah dengan paket investasi 3-M, yaitu modal, material, manusia/buruh dari China.  
   
Khusus masalah batas-batas laut di Laut China Selatan, Indonesia berpandangan bahwa wilayah itu harus menjadi laut yang stabil dan damai dengan memperhatikan dan menghormati hukum dan kaidah internasional, termasuk United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. 
   
Indonesia selalu konsisten menolak klaim China terhadap Laut China Selatan  berdasarkan Nine-dash line karena tidak sesuai dengan hukum internasional. 
   
Indonesia menjadi pihak sengketa setelah China pada tahun 2011 menegaskan klaimnya terhadap seluruh perairan Laut China Selatan yang berada dalam Nine-dash line, karena sebagian garisnya masuk ke dalam wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) perairan Pulau Natuna. 
   
Selain menyambut baik keputusan Arbitrase Internasional 2016 yang menggugurkan Nine-dash line China, Indonesia memutuskan untuk menamai wilayah perairan Natuna menjadi Laut Natuna Utara.  
   
Memperhatikan kondisi geostrategi-politik di wilayah Indo-Pasifik, maka selayaknya dalam memilih pemimpin tertinggi negara ke depan, rakyat Indonesia perlu menggunakan kriteria penting, yaitu bahwa seorang pemimpin harus berpegang pada prinsip STAF, yaitu Siddiq (jujur), Tabligh (transparan), Amanah (dapat dipercaya), dan Fatonah (cerdas). 
   
Secara umum terjemahannya adalah figur yang mempunyai integritas, kapasitas, sinergitas, dan intelektualitas. Figur tersebut akan menunaikan kewajibannya, bukan saja patuh kepada undang-undang negara di dunia, tetapi dia juga harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di Yaumil akhir.
   
Selain itu pemimpin dimaksud harus bersikap transformasional, yaitu peduli terhadap bawahan, komunikatif, menumbuhkan kepercayaan (trust), rasa hormat (respect) dan berani mengambil resiko. Kepemimpinan transformasional berlawanan dengan transaksional, dimana semua dihitung berdasarkan untung rugi kepentingan sesaat.
   
Dalam menyongsong Tahun Emas Kemerdekaan RI tahun 2045, sosok pemimpin yang diperlukan adalah seorang figur yang mampu mengatasi permasalahan di dalam negeri dan berperan aktif di dunia internasional guna mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan UUD 1945. 
   
Dia juga harus merupakan figur yang visioner, memiliki ide-gagasan yang orisinal dan bukan pesanan serta mempunyai rekam jejak kinerja yang baik tanpa pencitraan atau rekayasa. 
   
Pemimpin dimaksud haruslah sosok yang sudah selesai dengan dirinya dan jauh dari perbuatan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) maupun tersandera oleh kepentingan KKO (Keluarga, Kroni dan Oligarki) serta tidak lagi tergoda dengan ‘3 Ta’, yaitu harta, tahta dan wanita. 
   
Terkait upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menumbuhkan perekonomian rakyat kecil, pemerintah wajib memberikan keberpihakannya kepada kelompok ekonomi lemah melalui ‘affirmative policy’.
    
Tujuannya adalah guna memberikan bantuan kemudahan akses permodalan serta  penyediaan fasilitas training dan counseling maupun pendampingan dalam memperluas akses pasar, baik di dalam maupun di luar negeri.
  
Kebijakan ‘affirmative policy’ pernah ditulis dalam sebuah buku yang menarik dan inspiratif dengan judul “The Malay Dilemma” oleh Dr. Mahathir Mohamad pada 1970.
   
Buku tersebut menjelaskan tentang kebijakan yang berpihak dan memberikan privilege kepada bangsa Melayu dalam menjalankan usaha bisnis sehingga dapat mengurangi gap kaya-miskin serta menghilangkan kecemburuan dan potensi konflik horizontal di masyarakat.
   
Khusus bagi Indonesia, sebagai negara demokrasi ketiga terbesar dunia setelah India dan Amerika Serikat, praktek demokrasi setiap kali diuji melalui pelaksanaan pemilihan Presiden dan anggota Parlemen. 
   
Pengalaman mengajarkan bahwa Pilpres atau Pileg yang bermasalah dapat menyulut protes dari rakyat menuju terbentuknya demonstrasi besar ‘People’s Power’ yang mengakibatkan kejatuhan suatu rezim, seperti terjadi di Kyrgyzstan (2005, 2010, 2020), Filipina (1986), dan Indonesia (1998) yang kesemuanya didahului protes rakyat terhadap Pemilu yang cacat. 
   
‘Lesson learned’ bahwa Pemilu yang sekedar formalitas guna memenuhi sistem demokrasi dapat menimbulkan masalah besar ketika proses dan pelaksanaannya terjadi kecurangan. 
   
Maka, KPU dituntut menyelenggarakan Pilpres dan Pileg secara ‘jujur, adil dan transparan’, sehingga menghasilkan pemimpin yang mempunyai kredibilitas dan legalitas kuat dalam memimpin bangsa Indonesia ke depan.

Mohamad Asruchin adalah Duta Besar RI untuk Uzbekistan merangkap Kazakhstan, Kyrgyztan dan Tajikistan pada 2010-2014.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *