Oleh Arafik A Rahman
(Penulis buku)
Dalam setiap momentum politik kita selalu disajikan dengan narasi-narasi yang memanjakan pikiran publik. Misalnya insyaallah lebih baik, mengabdi dengan ikhlas dan tulus, kesejahteraan, adil dan makmur dan seterusnya. Entah itu kemudian Terealisasi atau tidak.
Tetapi memang begitulah cara konsultan meracik kandidatnya agar terlihat malaikat di tengah absurd-nya kapabilitas figur akhir-akhir ini. Secara Aksiologi, dalam politik kita mestinya memeriksa bagaimana etika seorang pemimpin? Bagaimana kapabilitasnya untuk menjadi syarat seorang pemimpin? Apa benar dia orang baik yang akan selalu memberikan perhatiannya ketika kelak menjadi pemimpin? Pertanyaan yang terakhir adalah bekal pengetahuan tambahan jika kelak dia menjadi memimpin.
Sebab pemimpin yang bijaksana itu, berawal dari orang yang baik. Seperti kata Plato The king of filosofis atau pemimpin yang bijaksana. Menurutnya hanya dua cara jika hendak memilih pemimpin; pertama memilih seorang filsuf menjadi pemimpin dan yang kedua mengfilsufkan pemimpin.
Meskipun begitu kita harus meyakini bahwa setiap masa ada pemimpinnya dan setiap pemimpin ada masanya; semesta juga turut menentukan siapa yang pantas menjadi memimpin. Entah itu laki-laki atau perempuan. Dalam euforia Perpolitikan kekinian? Laki-laki cenderung mendominasi panggung politik. Menurut Kuntowijoyo bahwa sejarah perempuan di Indonesia nampaknya masih sunyi dan luput dari perhatian sejarawan. Seakan-akan sejarah adalah milik kaum laki-laki.
Kita terlalu lama memposisikan perempuan jauh dari panggung politik yang cenderung memandang perempuan sebagai subjek yang lemah. Seperti rekam jejak perempuan di zaman jahiliyah, mereka dianggap hina dan rendah. Menjadi symbol ketertindasan kelemahan. Kala itu, perempuan dapat diwariskan sebagai sisa harta warisan dan tidak memiliki hak untuk menerima warisan keluarga atau kerabatnya.
Namun potret tersebut sirna ketika datangnya Islam, perempuan mengalami emansipasi secara besar-besaran. Di manjakan oleh Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya, dalam laku kehidupan. Ribuan tahun Islam memanjakan kaum perempuan. Ia dicintai oleh suaminya, tak ada satupun tercecer semua wanita yang telah layak menikah mesti dinikahi oleh seorang pria. Jika suaminya gugur dalam Medan tempur maka lelaki yang lain harus menikahi, begitu asal muasal terjadinya “poligami”.
Hal yang serupa dilakukan agama-agama samawi lainnya perempuan mendapatkan posisi yang istimewa. Seiring waktu berjalan di abad ke 17, perempuan mengalami lompatan emansipasi yang jauh di puncak panggung politik Eropa dan dunia. Katakanlah di Prancis tahun 1789, terjadi revolusi pertama yang membawa perubahan esensial di sektor industri dan merebah ke tatanan kehidupan lainnya yang mulai membuka sedikit tirai untuk peran perempuan. Meskipun masa revolusi itu, belum membawa berdampak yang signifikan terhadap kesetaraan gender atas hak-haknya.
Tekan demi tekanan pergerakan perempuan terus berhembus, hingga pada tahun 1884, Prancis mengalami Transformasi pemerintahannya dari rezim Monarki Absolut (Monarchie Absolue) menuju Republik. Gerakan itu memuncak pada masa Republik Keempat tahun 1944 (Vovelle, 1988). Gerbang sejarah baru telah terbuka bagi perempuan melalui sistem demokrasi pertama di Prancis dan wanita sebagai salah satu simbol dan pondasi utamanya.
Pergerakan perempuan juga terjadi di Amerika. Pada saat Revolusi “Boston Tea Party; tanggal ,16 Desember 1773”. Protes yang dilakukan oleh rakyat Amerika dengan menyerang kapal-kapal Inggris dan membuang ratusan peti kayu berisi teh.
Perempuan kala itu, membuat kain tenunan sendiri, bekerja memproduksi barang dan jasa untuk membantu tentara, dan bahkan menjadi mata-mata.
Kebebasan perempuan dan dunia itu diabadikan melalui karya monumental yaitu pembuatan “Patung Liberty”. Makna filosofi dari patung Liberty itu adalah Dewi kemerdekaan, karena patung tersebut adalah seorang wanita yang persis mirip dengan ibu kandung sang Arsitek Gustave Alexandre Eiffel, yang juga pembuat menara Eiffel di Paris.
Nama patung itu, sebenarnya adalah “Liberty Enlightening the World” atau Liberty yang menyinari dunia. Patung ini di gambarkan sebagai seorang wanita yang sedang membebaskan diri dari belenggu tirani dengan tangan kanan yang memegang sebuah obor dengan api yang menyala, ini melambangkan kebebasan.
Sementara tangan kirinya memegang sebuah buku dengan tulisan “July 4, 1776” (dengan angka Romawi), hari kemerdekaan Amerika. Dia mengenakan jubah yang menjuntai dan 7 bayangan dari paku besar pada mahkotanya melambangkan 7 samudra dan benua.
Sementara gerakan emansipasi perempuan baru terjadi di Indonesia pada tahun 1879-1904, yang dipelopori oleh R.A. Kartini, surat-suratnya diterbitkan dalam judul “Door duisternis tot licht” artinya Habis Gelap Terbitlah Terang oleh Armijn Pane (Supardan, 2008). Dalam bukunya Sidney Hook yang berjudul “The Hero in History”. Dia mengurai konsep “the vent making woman” adalah perempuan yang Tindakan-tindakannya memiliki kapasitas intelegensia dan pekerja keras.
Dengan sederet tokoh-tokoh perempuan diantaranya: Ratu Sima dari Kalingga yang tegas sebagai seorang pemimpin, kecantikan Ken Dedes, Cut Nya Dien dan Martha Christina Tiahahu di Maluku melawan Belanda, perjuangan Pendidikan perempuan oleh Maria Walanda Maramis, Rachmah el Yunusiyah dan lainnya (Wiriaatmadja, 2003: 87-88).
Bertolak dari perjalanan panjang pergerakan perempuan, mestinya mereka mendapatkan porsi yang istimewa dalam perpolitikan di bangsa ini. Sebab dari fase awal pemerintahan pasca kemerdekaan perempuan belum mendapatkan porsi yang sama dengan negara-negara maju seperti Amerika dan Prancis saat ini.
Terbukti dalam konstitusi perempuan hanya mendapatkan jatah pencalonan 30%, sebagai anggota legislatif. Yang pertama kali termaktub dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menjadi dasar pelaksanaan Pemilu 2019, sebagaimana diatur dalam Pasal 245 dan Pasal 246 ayat (1) dan ayat (2).
Meskipun begitu, semangat perempuan tak mesti padam. Mereka harus terus mendorong pergerakan feminisme-nya sampai mendapatkan porsi yang segnifikan dalam perhelatan pemilihan legislatif kedepannya. Perempuan tak boleh kala di panggung politik khususnya Pilkada di provinsi Maluku Utara saat ini. Kenapa tak ada satupun perempuan yang tampil.?
Padahal ada beberapa perempuan yang kemarin tampil di pileg dan ada juga yang terpilih seperti di DPR RI: Irene Hui Roba dan Alien Mus. Dari sederet figur yang terpublikasi melalui iklan, baliho dan Billboard di setiap sudut dan jalanan kota, jarang bahkan tak ada satupun perempuan yang tampil, entah itu calon Bupati, Walikota dan atau Gubernur.
Ayo bangkit panggung ini untuk semua, sudah tiba saatnya, perempuan harus membuktikan bahwa sejarah telah memanggil anda untuk kembali berkiprah. Belajarlah dari semangat emansipasi R.A Kartini, Cut nyak Dhien dan Kristina Martha Tiahahu yang sukses mengusir penjajah. Kata, Marge Piercy, “A strong woman is a woman determine to do something others are determine not be done”. Perempuan hebat adalah perempuan yang bertekad untuk melakukan sesuatu yang orang lain enggan melakukannya.