PT BPN Digugat, Warga Wale Bongkar Dugaan Penyerobotan Lahan dan Rekayasa Dokumen

HALTENG — Konflik agraria kembali memanas di Halmahera Tengah. PT Bakti Pertiwi Nusantara (BPN) resmi digugat keluarga besar Pasa di Pengadilan Negeri Soasio atas dugaan penyerobotan lahan adat turun-temurun di Desa Wale, Kecamatan Weda Utara. Gugatan bernomor 27/Pdt.G/2025/PN SOA, teregister 1 September 2025, menandai naiknya perselisihan ini ke ranah hukum.

Keluarga Pasa menuding PT BPN merekayasa data lahan dan memalsukan dokumen dengan melibatkan oknum aparat desa serta kecamatan. Kuasa hukum mereka, Victor Halbat Gagaly, menyebut tindakan perusahaan “tersistematis dan melawan hukum.” “Kami punya bukti bahwa data lahan klien kami dipalsukan untuk memuluskan penguasaan lahan oleh PT BPN,” tegasnya.

Lahan yang disengketakan merupakan tanah warisan turun-temurun, menjadi sumber hidup dan identitas leluhur keluarga Pasa. Penggugat Fabianus Pasa, Amandus Passa, Debora Yanti Pasha, Urbanus Passa, Anastasya Pasa, Fanderlina Pasa, dan Yasinta Pasa menyampaikan tembusan gugatan kepada Bupati Halmahera Tengah, Camat Weda Utara, Kepala Desa Wale, Kementerian ATR/BPN RI, dan Kantor Pertanahan setempat.

Victor menegaskan, dugaan penguasaan lahan tanpa hak melanggar UUPA 1960, UU Minerba 2020, Permen ATR/BPN Nomor 11/2016, dan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen. Jika terbukti, PT BPN bukan hanya terancam ganti rugi perdata, tetapi juga konsekuensi pidana.

Warga mengaku mengalami intimidasi moral dari oknum aparat desa yang diduga berpihak ke perusahaan. “Kami tidak pernah menjual tanah itu. Kalau perusahaan masuk seenaknya, berarti martabat kami diinjak-injak,” ujar Fabianus Pasa.

Sidang pertama di PN Soasio sempat tertunda karena PT BPN disebut tidak siap hadir. Kuasa hukum keluarga Pasa menilai sikap itu sebagai bentuk ketidakpatuhan perusahaan terhadap proses hukum.

Pengamat hukum pertanahan Safridhani Smaradhana menilai perkara ini penting karena membuka dugaan kolaborasi perusahaan dengan aparat desa dalam memperluas ekspansi tambang di Halmahera Tengah. Ia menilai kasus ini dapat menjadi preseden penting bagi perlindungan hak masyarakat adat.

“Ini bukan sekadar sengketa lahan. Ini potret besar konflik agraria di wilayah tambang. Putusan PN Soasio akan menunjukkan apakah negara benar-benar melindungi hak masyarakat,” ujarnya.

Sidang lanjutan dijadwalkan 3 Desember 2025, menjadi momentum krusial untuk menentukan kepemilikan sah lahan dan pihak yang bertanggung jawab atas dugaan pelanggaran hukum tersebut. (Odhe/Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *