Penulis : Hamlan Patani
Editor : Odhe
Dua dekade lebih sudah berlalu sejak UU No. 46 Tahun 1999 dan UU No. 6 Tahun 2000 menetapkan Provinsi Maluku Utara sebagai daerah otonom baru dengan Sofifi sebagai ibu kotanya. Tapi sampai hari ini, Sofifi belum pernah benar-benar hidup sebagai jantung pemerintahan provinsi. Kota ini tetap bagai bayangan—terdengar, tapi tak pernah nyata.
Perseteruan lama antara Ternate dan Tidore soal status ibukota sempat membelah arah pembangunan. Dan meski keputusan final sudah jatuh ke Sofifi, hingga kini realisasinya justru buntu. Dua Gubernur memimpin selama 20 tahun, tetapi perubahan signifikan tak pernah terasa. Bahkan Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono, pernah menyebut Maluku Utara sebagai provinsi paling sunyi, bak “kuburan mati”.
Kini, di tangan Gubernur baru Shelly Joanda—sosok perempuan pertama yang memimpin Maluku Utara—terbit kembali harapan. Ia membawa semangat baru, meminta dukungan Presiden Prabowo untuk segera menetapkan Daerah Otonomi Baru (DOB) Kota Madya Sofifi. Tujuannya jelas: mempercepat pembangunan dan memastikan roda pemerintahan benar-benar berjalan dari pusatnya sendiri.
Namun, seperti biasa, harapan baru justru memunculkan kegaduhan baru. Ada yang pro, banyak pula yang kontra. Wacana pemekaran ini malah membuka luka lama, memunculkan debat kusir dan ancaman stagnasi politik yang ujungnya hanya merugikan rakyat.
Masyarakat kini bertanya lantang: “Gubernur dan DPRD selama ini kerja apa?” Sofifi masih tanpa bentuk, seperti fatamorgana. Sekadar cap ibukota, tapi tidak pernah difungsikan sebagaimana mestinya. Kantor ada, tetapi denyut kota tak terasa.
Gagasan ekstrem bahkan mulai mencuat—kembalikan saja Provinsi ini ke pemerintah pusat, atau jadikan Jakarta sebagai ibukota Provinsi Maluku Utara, kalau memang niat membangun tidak pernah ada.
Tapi ini bukan soal menyerah. Ini soal political will—kemauan politik yang serius dan tulus. Solusinya bukan tarik urat, tapi duduk bersama. Gubernur dan Walikota Tikep harus turun tangan langsung. Penataan wilayah Oba harus dibahas secara jernih. Mulai dari Pasigau ke Payahe bisa tetap jadi bagian Tikep, sisanya ditata sebagai kawasan Kota Sofifi. Ini soal peta yang harus dibuka dan dirundingkan, bukan dipertengkarkan di media sosial.
Sofifi adalah kesepakatan kita bersama. Ia bukan milik satu suku, golongan, atau elit tertentu. Sudah waktunya torang bicara jujur, buka hati, dan bergerak sama-sama. Kalau semua kepala batu, lebih baik bubarkan saja Provinsi ini dan masing-masing daerah berjuang jadi provinsi sendiri.
Tapi kita tahu, bukan itu yang kita mau. Kita ingin maju. Kita ingin sejajar dengan daerah lain. Maka jangan tunda lagi—saatnya Sofifi benar-benar menjadi ibukota. Bukan hanya di atas kertas, tapi nyata dalam pembangunan, pelayanan, dan harapan rakyat Maluku Utara. ****