Ternate, teropongmalut.com – Lembaga Survei Indonesia (LSI) bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Khairun kota Ternate provinsi Maluku Utara (Malut) melaksanakan diskusi publik dan mengungkap hasil survei yang dilakukan pada beberapa bulan lalu di Gedung Rektorat, ruang aula Nuku Hall, lantai IV (empat) Universitas Khairun pada hari Jumat, (01/02) kemarin. (03/02/19).
Dalam diskusi yang bertema “Presepsi Publik Dan Pelaku Usahadi Sektor Infrastruktur, Perizinan dan Kepabeanan Tentang Anti Korupsi Daerah” ini di ikuti sebanyak 106 peserta dari berbagai kalangan yang di fasilitatori oleh Ahmad Khoirul Umam, selaku Narasumber dari LSI, Faisal Malik, salah satu Akademisi Fakultas Hukum Unkhair, Ridha Ajam, Direktur Makuwaje, dan Hasbi Yusuf, Kadin Provinsi Malut serta Rusdin Alauddin, Wadek 1 Fakultas Hukum yang bertugas menjadi Moderator untuk berjalannya diskusi publik.
Ahmad Khoirul Umam selaku fasilitator diskusi tersebut mengatakan bahwa jika di lihat secara umum, mayoritas warga Malut saat ini menilai bahwa tinggkat korupsi pada periode dua tahun terakhir ini mencapai 43%.
” Akan tetapi, saat ini bila dibandingkan dengan hasil temuan survei yang di lakukan di tahun 2016 lalu, maka, presesepsi warga cenderung menurun. Hal ini berdasarkan data di tahun 2016 lalu yang mencapai 70% dan pada dua tahun terakhir ini berubah menjadi 43%,” paparnya.
Hal ini menjelaskan bahwa jika dibandingkan dengan presepsi warga pada tinggkat Nasional itu mencapai 52% sehingga presepsi peningkatan korupsi di Malut cenderung lebih rendah.
Dengan begitu, semakin menurunnya presepsi terhadap tinggkat korupsi, maka dapat di pastikan bahwa sudah banyak warga telah memiliki pengetahuan bahwa lembaga-lembaga yang ada saat ini telah melakukan langkah untuk memberantas korupsi dan langkah tersebut di nilai efektif, meski dalam derajat yang bervariasi. Sehingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai sebagai lembaga yang paling banyak langkah pemberantasan korupsi dan tinggi efektivitasnya,” jelas Ahmad.
Ahmad menerangkan bahwa menurut warga, pemerintah dalam hal ini pemerintah pusat serius atau sanggat serius melawan korupsi 52%. Sementara pemerintah daerah lebih rendah di nilai keseriusannya, yakni pemerintah provinsi 40% dan pemerintah kabupaten/kota 39%.
“Presepsi terhadap luasnya penyebaran korupsi berbeda terhadap pemerintah pusat, Provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa atau kelurahan. Warga maluku utara menilai korupsi paling banyak adalah pemerintah pusat, lalu menurun hingga yang paling sedikit korupsinya ditinggkat desa atau kelurahan,” terangnya.
Kinerja pemerintah di nilai oleh warga Maluku Utara semakin baik terutama dalam mengusahakan keterjangkauan pelayanan kesehatan dan membangun jalan umum, tetapi dalam pencegahan dan penegakan hukum terhadap pelaku korupsi masih perlu di tingkatkan.
“Mayoritas warga Malut menilai pemberian uang di luar ketentuan ketika berhubungan dengan instansi pemerintah, baik untuk memperlancar suatu proses atau sebagai bentuk terima kasih sebagai hal yang “tidak wajar” 73%,” ujar Ahmad.
Lanjut Ahmad bahwa dalam setahun terakhir, angka ini menunjukan peningkatan. Akantetapi, cukup banyak 46% yang menilai “wajar”.
Bila di bandinggkan dengan temuan nasional, warga di Malut nampak cenderung kurang toleran terhadap pemberian uang tersebut.
Terpisah, Dekan Fakultas hukum Jamal Hi Arsad saat di konfirmasi oleh awak media di lingkup Fakultas hukum, mengatakan bahwa dirinya pun berharap dan selaku dekan fakultas hukum tetap akan selalu mendukung berbagai rankaian kegiatan dan ini merupakan tujuan untuk pemberantasan koropsi di Indonesia dan ini akan lebih focus pada provinsi Malut.
“Kami sebagai salah satu lembaga pendidikan, sehingga fakultas hukum mengambil peran penting untuk membantu dalam kerja sama ini, karena ketika ada hal yang bersifat menyangkut dengan informasi tentang soal koropsi, lembaga fakultas hukum harus bisa menjembatani dan Kami juga bekerja sama dengan KPK dalam soal perekaman sidang,dan komisi yudisial,” tutupnya (ASM)