Ternate, TeropongMalut — Kasus dugaan kekerasan dan diskriminasi terhadap siswa di SMP Islam Terpadu Nurul Hasan, Kota Ternate, semakin memanas. Oknum guru Bahasa Indonesia, Roby, diduga melakukan tindakan kekerasan fisik serta intimidasi terhadap siswa yang tidak hanya mencederai psikologis para siswa, tetapi juga melibatkan tindakan perusakan barang milik mereka. Kasus ini semakin disorot karena adanya dugaan keterlibatan Kepala Sekolah, Ehmet Ahmad Hotib, yang diduga menutupi perbuatan tersebut.
Perlakuan Roby yang merobek pakaian olahraga (jersey) milik para siswa yang baru saja dibeli dengan harga Rp170.000, dinilai sebagai tindakan brutal dan tidak mencerminkan tugas seorang pendidik. Orang tua murid merasa tindakan Roby merugikan dan berpotensi menyebabkan trauma jangka panjang bagi anak-anak mereka. “Perbuatan Roby itu tidak layak sebagai guru. Dia harus diperiksa secara psikologis atau dikeluarkan saja dari sekolah. Jangan tunggu ada korban lebih banyak,” ungkap salah satu orang tua murid dengan penuh kekecewaan.
Selain kekerasan fisik, seorang petugas keamanan sekolah juga diduga turut melakukan intimidasi terhadap siswa yang melaporkan kejadian ini kepada orang tua mereka. “Kenapa kamu lapor ke orang tua, jangan lapor-lapor!” tegas petugas keamanan kepada seorang siswa, memperlihatkan adanya upaya menekan siswa agar tidak menyampaikan permasalahan ini ke luar sekolah.
Kepala Sekolah, Ehmet Ahmad Hotib, tampaknya memilih untuk menghindari masalah ini. Saat media mendatangi sekolah untuk meminta keterangan, ia justru berdalih tengah mengadakan rapat dengan para guru. “Kami sudah melakukan penyeleksian dengan pihak orang tua,” ucapnya, namun pernyataan ini tidak menenangkan para orang tua yang merasa kecewa dan khawatir dengan perlakuan diskriminatif dan intimidasi yang diterima oleh anak-anak mereka dari guru Roby.
Ironisnya, sekolah ini memasang poster yang menekankan anti-diskriminasi dengan slogan “STOP DISKRIMINASI. Ingin Jadi yang Terbaik, Tidak Harus Dengan Diskriminasi”. Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan justru bertolak belakang dengan nilai-nilai yang diusung oleh sekolah tersebut.
Sekolah SMP Islam Terpadu Nurul Hasan sebenarnya telah memiliki tata tertib yang jelas, termasuk larangan kekerasan dan bullying yang tertuang dalam aturan sekolah. Namun, aturan ini seolah diabaikan oleh oknum guru dan pihak sekolah yang bertanggung jawab.
Dalam tata tertib, tercantum kewajiban siswa untuk menggunakan pakaian yang sopan sesuai syariat Islam, baik di sekolah maupun di luar. Selain itu, siswa juga dilarang membawa motor, melakukan bullying, atau melakukan tindakan tidak pantas lainnya. Akan tetapi, kasus ini menunjukkan bagaimana pihak sekolah gagal dalam menegakkan aturan tersebut terhadap tenaga pendidik.
Tindakan kekerasan dan diskriminasi yang dilakukan oleh seorang guru dapat dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menegaskan bahwa anak-anak berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan fisik maupun psikis di lingkungan pendidikan. Guru yang melanggar dapat dikenai pidana sesuai Pasal 76C UU Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman penjara hingga 3 tahun.
Selain itu, tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh guru Roby bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang menyatakan bahwa seorang guru harus berperilaku profesional dan memberikan perlindungan kepada siswa dari segala bentuk kekerasan, baik fisik maupun verbal.
Kasus ini menimbulkan gelombang kekecewaan dari orang tua siswa yang mendesak agar pihak sekolah, khususnya Kepala Sekolah dan oknum guru Roby, bertanggung jawab atas tindakan yang sudah dilakukan. Para orang tua mendesak agar guru tersebut segera diperiksa secara psikologis, atau dipecat jika terbukti bersalah.
Saat awak media mencoba mengonfirmasi kehadiran Roby di sekolah, Kepala Sekolah justru memberikan keterangan yang dianggap menyesatkan. Ia menyatakan bahwa Roby telah pulang, padahal kenyataannya guru tersebut masih berada di sekolah. Peristiwa ini semakin memperkuat dugaan adanya upaya menutupi masalah oleh pihak sekolah.
Kasus ini mengundang perhatian publik dan perlu mendapatkan penanganan serius. Dinas Pendidikan Kota Ternate serta pihak kepolisian diharapkan turun tangan untuk melakukan investigasi lebih lanjut agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang.
Dengan dasar hukum yang ada dan desakan masyarakat, sudah seharusnya SMP Islam Terpadu Nurul Hasan Kota Ternate menjadikan kasus ini sebagai pelajaran penting untuk melindungi siswa dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. (Agis)