Di banyak desa pesisir, keluhan soal makin sedikitnya anak muda yang mau jadi nelayan sudah jadi pemandangan umum. Generasi muda dianggap tak lagi tertarik “turun ke laut”, lebih memilih kerja kantoran atau merantau ke kota. Tapi di balik keluhan itu, ada pertanyaan yang jauh lebih penting untuk ditanyakan: apakah kita pernah sungguh-sungguh mewariskan ilmu perikanan kepada mereka?
Karena kalau kita jujur, jawabannya lebih sering “tidak”.
Ilmu yang Tak Tertulis
Pengetahuan nelayan generasi lama bukanlah sesuatu yang mudah diajarkan lewat buku. Ia hidup dalam praktik sehari-hari, dalam pengalaman dan intuisi yang terasah selama puluhan tahun. Mereka bisa membaca arah angin dan gelombang, tahu kapan waktu ikan naik, bahkan mengenali tanda-tanda cuaca hanya dari suara laut. Ini bukan hal mistis ini sains yang hidup dan menyatu dengan tubuh mereka.
Sayangnya, sebagian besar dari pengetahuan itu tidak pernah ditulis. Ia hanya berpindah dari mulut ke mulut atau lebih buruk, tidak berpindah sama sekali.
Sementara itu, generasi muda yang mulai menekuni dunia perikanan justru disuguhi pendekatan serba digital: aplikasi budidaya, GPS, sensor suhu, dan platform manajemen hasil tangkapan. Semuanya penting, tentu saja. Tapi tanpa dasar pemahaman lokal yang kuat, teknologi hanyalah alat tanpa arah. Kita membiarkan mereka mengarungi laut dengan peta digital, tapi tanpa kompas kultural.
Dua Dunia yang Tak Pernah Bertemu
Ada jurang yang makin lebar antara pengetahuan tradisional dan pendekatan modern. Generasi tua sering merasa pengetahuan mereka tidak penting untuk dibagikan, terlalu sederhana, terlalu “biasa”. Sebaliknya, generasi muda merasa metode lama sudah tidak relevan di zaman serba cepat. Keduanya akhirnya berjalan sendiri-sendiri, tanpa ruang untuk bertemu di tengah.
Padahal, dunia perikanan yang berkelanjutan butuh lebih dari sekadar inovasi. Ia butuh kesinambungan pengetahuan. Kita tidak bisa berharap regenerasi nelayan akan berjalan jika ilmu yang ditinggalkan kosong.
Membalik Arah Arus
Sudah waktunya kita menata ulang cara memandang warisan pengetahuan di sektor perikanan. Ini bukan sekadar soal pelatihan atau penyuluhan. Ini soal menciptakan ruang pertemuan lintas generasi. Bukan ruang simbolik, tapi yang benar-benar memungkinkan transfer ilmu berjalan dua arah.
Bayangkan jika ada program magang antar generasi, tempat nelayan muda belajar langsung dari nelayan senior. Atau proyek dokumentasi pengetahuan lokal yang dijadikan arsip digital dan dibuka untuk publik. Bahkan lebih jauh, startup perikanan pun bisa menggandeng tokoh-tokoh lokal untuk menggabungkan data modern dengan intuisi lapangan.
Sekolah perikanan juga perlu dirombak. Jangan hanya bicara soal mesin, teori, atau manajemen modern. Ajak siswa menyentuh lumpur tambak, menatap horison pagi bersama nelayan tua, mendengar kisah laut yang tak ada di silabus.
Menjaga Laut, Menjaga Warisan
Laut kita memang luas. Tapi bukan luasnya yang menjamin hasil. Justru pengetahuan manusialah yang membuat laut bisa dijinakkan, dipahami, dan dijaga. Kalau pengetahuan itu hilang karena tak diwariskan, kita bukan hanya kehilangan masa lalu kita sedang mengorbankan masa depan.
Menjaga laut berarti juga menjaga pengetahuan tentang laut. Dan itu artinya: menjembatani generasi, menyambungkan yang lama dengan yang baru. Karena hanya dengan itu, sektor perikanan bisa benar-benar berkelanjutan bukan sekadar dari sisi sumber daya, tapi juga dari sisi manusia yang menghidupinya.