Jakarta-Teropongmalut. Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, mengungkapkan bahwa kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen yang diterapkan hanya pada barang dan jasa mewah diperkirakan akan menambah pendapatan negara sebesar Rp 3,2 triliun. Hal ini disampaikan oleh Dasco pada Selasa, 31 Desember 2024, yang juga menjabat sebagai Ketua Harian Partai Gerindra. Menurutnya, kebijakan ini hanya menyentuh sebagian kecil sektor ekonomi, padahal potensi penerimaan negara bisa mencapai Rp 75 triliun jika tarif tersebut diberlakukan untuk semua barang dan jasa. Selasa 31/12/24
Dasco menambahkan bahwa meskipun penerimaan negara dari kebijakan ini relatif kecil, hal tersebut merupakan bagian dari langkah pemerintah dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan pendapatan negara dan kemampuan ekonomi masyarakat. “Pendapatan pemerintah untuk APBN 2025 dari kebijakan ini diproyeksikan hanya Rp 3,2 triliun,” ujarnya.
Namun, ia menekankan bahwa kebijakan ini tetap dapat memberikan manfaat dalam jangka panjang bagi negara. Salah satu alasan yang disampaikan adalah bahwa penerapan PPN 12 persen ini hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah yang konsumsi masyarakatnya terbatas pada kalangan menengah ke atas. Oleh karena itu, kebijakan ini dianggap tidak akan memberatkan sebagian besar masyarakat.
Dasco juga memberikan apresiasi terhadap keputusan Presiden Prabowo Subianto yang membatasi kenaikan PPN 12 persen hanya untuk barang dan jasa mewah. Ia menganggap kebijakan tersebut sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam melindungi masyarakat kecil dari potensi beban pajak yang terlalu besar. “Keputusan ini mencerminkan keberpihakan pada rakyat kecil di tengah tantangan ekonomi global,” kata Dasco.
Kebijakan tersebut merupakan hasil dari pertemuan antara DPR dan Presiden Prabowo pada 5 Desember 2024. Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan penerapan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Pajak yang mengedepankan prinsip keadilan serta pro rakyat. Dengan demikian, kebijakan ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
Sementara itu, Presiden Prabowo Subianto sebelumnya mengumumkan bahwa tarif PPN 12 persen akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Penerapan PPN ini hanya akan dikenakan pada barang dan jasa tertentu, yang dikonsumsi oleh kalangan masyarakat kelas menengah ke atas. Di antaranya, barang-barang mewah seperti pesawat jet pribadi, kapal pesiar mewah (yacht), serta rumah dengan harga di atas Rp 30 miliar.
Namun, untuk barang kebutuhan pokok dan jasa umum lainnya, tarif PPN tetap dipertahankan sebesar 11 persen atau bahkan dibebaskan dari PPN, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kebijakan ini diharapkan tidak akan mengganggu daya beli masyarakat di kalangan menengah ke bawah.
Untuk mendukung daya beli masyarakat, Presiden Prabowo juga memastikan bahwa pemerintah akan memberikan stimulus ekonomi berupa insentif dengan anggaran sebesar Rp 38,6 triliun. Anggaran ini dirancang untuk membantu masyarakat menghadapi tekanan ekonomi, serta menjaga stabilitas perekonomian Indonesia.
Prabowo menegaskan bahwa kebijakan ini bukan hanya untuk meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga untuk menciptakan sistem perpajakan yang adil dan mendukung kesejahteraan rakyat kecil. Pemerintah berkomitmen untuk terus memperbaiki sistem perpajakan agar tidak membebani masyarakat, sambil tetap memenuhi kebutuhan negara dalam membiayai pembangunan.
Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk merestrukturisasi sistem pajak nasional dan memastikan bahwa penerimaan negara dapat mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Dengan adanya pembatasan kenaikan tarif PPN hanya pada barang dan jasa mewah, pemerintah berharap dapat mencapai tujuan tersebut tanpa membebani mayoritas masyarakat.
Penerapan PPN 12 persen pada barang mewah ini, meskipun terbatas pada segmen tertentu, diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara secara signifikan. Namun, tantangan terbesar adalah bagaimana mengelola implementasi kebijakan ini agar tidak menimbulkan ketidakpastian di pasar atau beban bagi konsumen.
Ke depannya, pemerintah diharapkan terus memonitor dampak kebijakan ini terhadap perekonomian dan melakukan penyesuaian jika diperlukan. Kebijakan ini akan menjadi ujian bagi efektivitas reformasi pajak yang sedang berjalan di Indonesia, dengan harapan dapat menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan berkelanjutan.
(Wan)










