TEROPONGMALUT.COM – Satu lagi babak kelam pengkhianatan terhadap warisan leluhur terjadi di Desa Umera, Kecamatan Pulau Gebe, Kabupaten Halmahera Tengah. Tanah adat ratusan hektar milik keluarga besar Kapitan Lou/Matahari Muhammad Djafar—yang telah diwariskan sejak tahun 1910—diam-diam dijual kepada sebuah perusahaan tambang PT Batra Putra Mulia oleh Kepala Desa Umera, Manan, bersama Sekdes dan tim 9.
Lahan warisan ini bukan sembarang tanah. Di atasnya tumbuh pohon sagu, kelapa, dan tanaman tahunan lainnya—jejak nyata kehidupan masyarakat adat yang kini nyaris musnah akibat pembongkaran paksa oleh alat berat perusahaan. Salah satu dari delapan dusun warisan telah rata dengan tanah.
Padahal, tanah ini memiliki dasar sejarah dan hukum kuat. Wasiat tertulis sejak Agustus 1910 dari leluhur Tobelo Boen Papolo deng Togo Lufa dengan jelas menyebutkan bahwa tanah ini di titipkan kepada salah satu warga Umera. Hak wali atas dusun sagu bahkan tercatat di tangan Ence Key dan anaknya Sairudim. Garis keturunan dari Tete Alia, Kabi, Karong hingga Gaman pun masih hidup dan menuntut keadilan.
Namun suara mereka dibungkam. Beberapa kali mediasi yang diupayakan ditolak mentah-mentah oleh tim 9 dan pihak perusahaan. Ahli waris yang datang dari berbagai daerah seperti Sorong, Bajo, dan Tobelo hanya bisa menyaksikan lahan mereka hancur di depan mata. Hak adat dirampas, warisan leluhur dilenyapkan atas nama tambang.
Ismail, salah satu ahli waris, kepada media ini pada Kamis dini hari (12/6/2025) menyatakan sikap tegas keluarga besar: “Kami tidak akan mundur. Ini tanah titipan, kami akan lawan sampai nyawa jadi taruhan!”
Kini mereka menyerukan perlawanan terbuka. Pemboikotan terhadap aktivitas pertambangan mulai dirancang. Di Pulau Gebe, amarah rakyat adat sedang menyala. Perlawanan demi kehormatan leluhur kami tak bisa dibungkam lebih lama,” tandasnya. (Odhe/Red)